Minggu, 03 Mei 2015

TRIP TO MONUMEN PANCASILA SAKTI

TRIP TO MONUMEN PANCASILA SAKTI

Monumen Pancasila Sakti dibangun di area tanah sebesar 14 Ha, terletak di Jalan Pondok Gede, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Saya dan kelompok saya pergi kesana dengan menggunakan mobil dan motor pribadi, tetapi jika ingin ke Monumen Pancasila Sakti dengan transportasi umum dapat menggunakan Mikrolet M.28 jurusan Kampung Melayu – Pondok Gede, atau dengan Metro Mini T.45 jurusan Pulo Gadung – Pondok Gede – Taman Mini Indonesia Indah.
Didalam Monumen Pancasila Sakti Terdapat Museum Pengkhianatan PKI, baju-baju jendral yang masih terdapat bekas bercak darah dan Pameran Taman. Pertama saya akan membahas mengenai Pameran Taman yang berada di dalam Monumen Pancasila Sakti tersebut.




Pada Pameran Taman terdapat beberapa sumur maut, rumah-rumah yang digunakan gerombolan G30S/PKI untuk melakukan rencana mereka, tugu Monumen Pancasila Sakti, dan juga mobil-mobil yang bersejarah pada saat kejadian itu. Berikut adalah penjelasannya:


1.  Sumur Maut
Partai Komunis Indonesia (PKI) ingin merebut kekuasaan Pemerintah Indonesia dengan menggunakan aksi kekerasan yaitu melakukan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan satu perwira utama pada tanggal 1 Oktober 1965.
Setelah diculik, tujuh perwira tersebut dibawa ke desa Lubang Buaya di daerah Pondo Gede, Jakarta Timur. Dari ketujuh perwira tersbut, empat diantaranya masih dalam keadaan hidup sedangkan tiga perwira yang lain sudah dibunuh sebelum dibawa ke desa Lubang Buaya. Sesampainya di Lubang Buaya, empat perwira yang masih hidup disiksa beramai-ramai secara kejam oleh gerombolan G30S/PKI kemudian dibunuh satu persatu.
Jenazah tujuh perwira tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua dengan kedalaman 12 meter dan berdiameter 75 cm dengan posisi kepala dibawah. Selanjutnya para gelombolan G30S/PKI menutup sumur tersebut dengan potongan batang pisang, sampah, serta daun-daun kering secara berselang seling dan terakhir sumur tersebut ditutup dengan tanah diatasnya. Mereka menggali lubang-lubang lainnya di sekitar tempat itu sehingga dapat menyulitkan orang-orang yang akan mencari jenazah tujuh perwira tersebut.
Dari sumur ditemukan tujuh jenazah yaitu Letnan Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral R. Soeprapto, Mayor Jendral M.T. Harjono, Mayor Jendral S. Parman, Brigadir Jendral D.I. Pandjaitan, Brigadir Jendral Soetojo Siswomihardjo, dan Lettu Czi Pierre Andreas Tendean. Jenazah-jenazah tersebut akhirnya dapat diangkat pada tanggal 4 Oktober 1965 dalam keadaan rusak akibat penganiayaan secara kejam dilur batas-batas kemanusiaan.

2.  Rumah Penyiksaan
Menjelang akhir Agustus 1965 Pemimpin Biru Khusus PKI, Syam Kamaruzaman terus menerus mengadakan pertemuan. Pertemuan pada tanggal 22 September 1965 diselenggarakan di rumah Syam Kamaruzaman di Jalan Pramuka, Jakarta. Pertemuan tersebut membahas tentang penetapan sasaran gerakan bagi masing-masing pasukan. Pasukan yang akan bergerak menculik dan membunuh para Jendral yang dianggap lawan politiknya, pasukan tersebut diberi nama pasukan pasopati yang dipimpin oleh Lettu Dul Arief. Pasukan tersebut bergerak dari Lubang Buaya pada dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965 yang didahului dengan gerakan penculikan. Mereka yang diculik adalah:
            1.     Letnan Jendral TNI Ahmad Yani
            2.    Mayor Jendral TNI Mas Tirtodarmo Harjono
            3.    Mayor Jendral TNI Raden Soeprapto
            4.    Mayor Jendral TNI Siswondo Parman
            5.    Brigadir Jendral TNI Donald Isaccus Pandjaitan
            6.    Brigadir Jendral TNI Soetojo Siswomihardjo
            7.    Letnan Satu Czi Pierre Andreas Tendean
Mereka yang masih hidup dimasukkan kedalam sebuah rumah berukuran 8 x 15,5 m. Secara kejam mereka dianiaya dan dibunuh oleh anggota pasukan pemberontak PKI, serta pasukan sukarelawan anggota organisasi satelit PKI seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain. Setelah puas dengan segala kekejamannya, semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur lalu ditimbun dengan sampah dan tanah. Rumah yang digunakan untuk menyiksa para korban merupakan milik Bapak Bambang Harjono. Sebelum terjadi pemberontakan G30S/PKI, rumah tersebut digunakan sebagai tempat belajar Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar). Namun karena Bambang Harjono adalah simpatisan PKI, rumahnya diserahkan kepada PKI dan dipakai oleh pasukan PKI. Mereka yang disiksa dalam rumah ini adalah Mayor Jendral TNI R. Soeprapto, Mayor Jendral TNI S. Parman, Brigadir Jendral TNI Soetojo Siswomihardjo, dan Lettu Czi Pierre Andreas Tendean.

3.  Rumah Pos Komando
Rumah ini milik seorang penduduk RW 02 Lubang Buaya bernama Haji Sueb. Pada waktu terjadi G30S/PKI tahun 1965, rumah ini dipakai oleh pimpinan gerakan yaitu Letkol Untung dalam rangka mempersiapkan penculikan terhadap tujuh Jendral TNI AD.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 pukul 24.00 WIB, di rumah Pos Komando, Pasukan Pasopati diberi arahan tentang pelaksanaan gerakan. Pasukan Pasopati bergerak menuju sasaran setelah selesai menerima pengarahan dari Lettu Dul Arief.
Di dalam rumah Pos Komando masih terdapat peninggalan barang-barang asli antara lain tiga buah lampu petromaks, mesin jahit, dan lemari kaca.

4.  Rumah Dapur Umum
Rumah Dapur Umum merupakan salah satu rumah bersejarah yang ada di lokasi Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Rumah tersebut dilestarikan sebagai rumah bersejarah karena dipakai oleh PKI untuk menunjang terlaksananya kegiatan penganiayaan dan pembunuhan tujuh orang perwira TNI AD dalam peristiwa G30S/PKI. Rumah tersebut milik Ibu Amroh yang dipakai oleh PKI sebagai tempat penyediaan sarana konsumsi gerombolan G30S/PKI di Lubang Buaya.
Sebelum PKI menguasai Desa Lubang Buaya (sekarang lokasi Monumen Pancasila Sakti), mereka mengadakan pendekatan terlebih dahulu terhadap penduduk yang tinggal di lokasi tersebut. Untuk dapat mencapai tujuannya, PKI memerintahkan para penduduk mengungsi untuk sementara, karena disekitar mereka sedang ada latihan perang secara besar-besaran baik siang maupun malam.
Oleh karena itu kira-kira tiga hari sebelum pemberontakan G30S/PKI, Ibu Amroh yang sehari-hari sebagai pedagang pakaian keliling meninggalkan rumah dalam keadaan tidak terkunci dan tanpa menerima uang saku sepersenpun. Mereka menuruti segala kemauan PKI karena dijanjikan keamanan rumah dan isinya. Walaupun akhirnya mereka tahu bahwa mereka dibohongi oleh PKI.
Setelah mengungsi beberapa hari ke tempat sanak saudara, mereka kembali ke Lubang Buaya atas saran dari pamonng desa tempat mengungsi. Alangkah terkejutnya mereka ketika mereka melihat keadaan ramah berantakan tidak karuan. Sebagian perabotan rumah tangga rusak, hilang, dan tercecer di halaman dan kebun.

5.  Tugu Monumen Pancasila Sakti
Tugu Monumen Pancasila Sakti terletak 45 m (melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia) sebelah utara sumur maut. Patung Pahlawan Revolusi berdiri dengan latar belakang sebuah dinding setinggi 17 m (melambangkan tanggal kemerdekaan Indonesia) dengan hiasan patung Garuda Pancasila. Dinding berbentuk trapezium tersebut beridiri diatas landasan yang berukuran 17 x 17 m2 dengan 7 anak tangga menuju pelataran (melambangkan 7 Pahlawan Revolusi). Ketujuh patung Pahlawan Revolusi berdiri berderet dalam setengah lingkaran dari barat ke timur yaitu : patung Mayjen TNI Anumerta Soetojo Siswomihardjo, Mayjen TNI Anumerta D.I. Pandjaitan, Letjen TNI Anumerta R. Soeprapto, Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta M.T. Harjono Letjen TNI Anumerta S. Parman, dan Kapten Czi Anumerta P.A. Tendean. Tujuh patung tersebut berdiri pada alas yang berbentuk langkung dengan hiasan relief yang melukiskan peristiwa prolog, kejadian dan penumpasan G30S/PKI olej ABRI dan rakyat.

6.  Truk Dodge
Mobil truk yang digunakan oleh pemberontak G30S/PKI untuk membawa jenazah Brigjen TNI D.I. Pandjaitan adalah mobil truk Dodge 1961 buatan Amerika Serikat dengan nomor polisi B 2982 L, merupakan replica kendaraan jemputan P.N. Arta Yasa yang sekarang merupakan devisi cetak uang loga Perum Peruri.
Kendaraan tersebut dirampas oleh pemberontak G30S/PKI di sekitar Jalan Iskandar Syah, daerah Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada waktu itu kira-kira pukul 04.00 WIB, mobil tersebut berangkat dari kantor/ pool kendaraan Perum Peruri. Setelah sampai di Jalan Iskandar Syah, truk dicegat dan diteriaki berhenti oleh orang-orang berpakaian loreng dan memakai baret.
Ketika mobil tersebut melewati orang-orang yang berpakaian loreng tersebut, supir yang bernama Oman ditodong dengan senjata yang ditembakkan keatas sehingga supir ketakutan dan memberhentikan mobilnya. Akhirnya mobil tersebut dirampas dan digunakan oleh pemberontak G30S/PKI untuk menculik dan mengangkut jenazah Brigjen TNI D.I. Pandjaitan dari rumahnya di Jalan Hasanudin52 Kebayoran Baru menuju ke daerah Lubang Buaya, Pondok Gede.
  
7.  Mobil Dinas Letjen Ahmad Yani
Letnan Jendral TNI Ahmad Yan selain sebagai Men/Pangad juga merangkap sebagai Komando Tertinggi (KOTI) sejak bulan Februari 1965 sampai gugurnya beliau oleh gerombolan G30S/PKI. Mobil dinas yang digunakan oleh Mentri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jendral TNI Ahmad Yani memiliki nomor plat AD-01
Dengan Surat Keputusan Kementrian Angkatan Darat Nomor Kep-504/6/1966 tanggal 6 Juni 1966, mobil dinas ini menjadi hak milik keluarga Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani. Pada bulan Mei 1989 atas inisiatif Kepala Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI (sekarang Pusat Sejarah TNI), akhirnya mobil ini dapat dipamerkan di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta.

8.  Mobil Dinas Mayer Jenderal Soeharto
Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.30 WIB, Mayor Jendral TNI Soeharto beserta stafnya sudah berada di Markas Kostrad guna menganalisis dan mempelajari situasi. Dengan perintah Men/Pangad, apabila Men/Pangad berhalangan, maka kedudukan Men/Pangad digantikan bawahannya, dan juga telah mendapat satan dari beberapa Perwira Tinggi TNI AD. Atas perintah tersebut, Pangkostrad Mayor Jendral TNI Soeharto memutuskan untuk menjadi pimpinan sementara TNI AD.
Dengan menggunakan Jeep Toyota Konvas Nomor 04-62957/04-01, Mayor Jendral TNI Soeharto segera bertindak untuk menumpas G30S/PKI yang didalangi oleh mantan Letkol Untung dan tokoh PKI yang lain. Mayor Jendral TNI Soeharto dari rumahnya di Jalan Agus Salim menuju Markas Kostrad menggunakan kendaraan dinas yang dikendarai oleh Pratu Soewondo.
Pada tanggal 4 Oktober 1965, Mayor Jendral TNI Soeharto menuju Desa Lubang Buaya untuk memimpin langsung jalannya pengangkatan jenazah yang dilaksanakan oleh pasukan Kipam (Kesatuan Intai Para Amphibi) KKO AL yang dipimpin oleh Kapten KKO Winanto.

9.  Panser Saraceen
Jenazah korban kekejaman G30S/PKI diangkat dari sumur pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh Kipam (Kesatuan Intai Para Amphibi) KKO Angkatan Laut. Selanjutnya jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat TNI AD (RSPAD) Gatot Subroto untuk mendapatkan pemeriksaan visum etrepertum, sebelum kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Pada tanggal 5 Oktober 1965 jenazah tersebut dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Kendaraan yang digunakan untuk membawa jenazah adalah sejenis panser.

Kedua saya akan menceritakan apa saja yang terdapat di dalam Museum Pengkhianatan PKI yang berada di Monumen Pancasila Sakti. Museum Pengkhianatan PKI menceritakan sejarah pemberontakan-pemberontakan PKI yang bertujuan menggantikan dasar negara Pancasila dengan komunis yang bertentangan dengan Pancasila, sampai pada pemberontakan kedua yang terkenal dengan nama Gerakan Tiga Puluh September atau G-30-S/PKI, diawal pintu masuk kita akan disambut dengan beberapa koleksi foto Pengangkatan Jenazah 7 Pahlawan Revolusi, dan beberapa diorama yang menceritakan tentang Pemberontakan PKI di berbagai daerah di Indonesia. Didalam Museum Pengkhianatan PKI tersebut terdapat miniatur-miniatur yang mewakili kejadian-kejadian pada saat itu, berikut adalah gambar-gambar miniatur dan cerita singkat mengenai kejadian yang terjadi pada saat itu:
1.     Peristiwa Tiga Daerah (4 November 1945)
Setelah proklamasi kemerdekaan indonesia kelompok komunis bawah tanah mulai memeasuki organisasi massa dan pemuda seperti angkatan pemuda indonesia (API) dan angkatan muda republik indonesia (AMRI). Dengan menggunakan organisasi massa, orang-orang komunis memimpin aksi penggantian pejabat pemerintah tiga kabupaten di kepresidenan pekalongan yang meliputi brebes tegal dan pemalang. Pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI melancarkan penyerbuan ke kota Tegal, yaitu kantor kabupaten dan markas TKR, tetapi gagal. Kemudian tokoh-tokoh komunis membentuk gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk perebutan kekuasaan di kepresidenan pekalongan.

2.     Aksi Teror Geromboloan Ce’mamat (9 Desember 1945)
Ce’mamat seorang tokoh komunis terpilih sebagai ketua komite Nasional Indonesia (KNI) Serang. Ia merencanakan untuk menyusun pemerintah model sovyet.  Pada tanggal 17 Oktober 1945, ia membentuk dewan pemerintahan rakyat serang (DPRS) dan merebut pemerintah kepresidenan Banten, untuk mempuerkuat kekuasaannya, Ce’mamat menggunakan laskar-laskarnya untuk melakukan berbagai teror. Mereka berhasil menculik dan membunuh bupati Lebak, R.Hadiwinangun di jembatan sungai Cimancak pada tanggal 9 Desember 1945.

3.     Aksi Kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan (12 Desember 1945)
Pada tanggal 18 Oktober 1945, badan direktorat dewanpusat dibawah pimpinan ahmad khairun dengan didampingi tokoh-tokoh bawah tanah berhasil mengambil ahli kekuasaan pemerintah Republik Indonesia di Tanggerang dari Bupati Agus Padmanegara. Dewan tersebut juga membentuk aksi laskar hitam atau laskar ubel-ubel untuk melakukan aksi teror. Pada tanggal 12 Desember 1945, laskar hitam dibawah pimpinan Usman didaerah Mauk membunuh seorang tokoh nasional Otto Iskandardinata.

4.     Pemberontakan PKI di Cirebon (14 Februari 1946)
PKI dibawah pimpinan Mr. Yoesoef dan Mr.Soeprapto mendatangkan ± 3000 anggota laskar merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Cirebon dalam rangka melaksanakan Konferensi laskar merah. Pada tanggal 12 Februaru 1946 ternyata laskar merah tersebut melucuti TRI, menguasai kota dan gedung-gedung vita seperti stasiun radio dan pelabuhan. Pada tanggal 14 Februari 1946, TRI melancarkan serangan untuk merebut dan mengusai kembali kota Cirebon.

5.     Peristiwa Revolusi Sosial di Langkat (9 Maret 1946)
Lahirnya Republik Indonesia belum sepenuhnya diterima oleh kerajaan-kerajaan terutama yang berada di Sumatera Timur. Pada tanggal 3 maret 1946 terjadilah revolusi sosial yang dilakukan oleh PKI yang tidak hanya menghapus pemerintah kerajaan tetapi juga membunuh raja-raja dan keluarganya serta merampas harta benda kerajaan. Pada tanggal 9 maret 1946, PKI dibawah Usman Parinduri dan Marwan yang menyerang Istana sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura.

6.     Pemogokan Buruh Sarbupi di Delanggu (23 Juni 1948)
Satelah satu usaha PKI untuk menjatuhkan wibawa pemerintah Republik Indonesia adalah mengacaukan perekonomian melalui aksi pemogokkan buruh. Pada tanggal 23 juni 1948, ± 15.000 buruh pabrik karung goni dari 7 perusahaan perkebunan milik pemerintah di Delanggu, klaten melancarkan aksi mogok menuntut kenaikan upah. Mereka adalah anggota serikat buruh perkebunan republik Indonesia (Sarbupri). Organisasi buruh PKI. Tuntutan itu sulit dipenuhi karena negara sedang mengalami kesulitan ekonomi yang parah. Aksi yang sangat merugikan negara itu berakhir tanggal 18 Juli 1948 setelah partai-partai politik mengeluarkan pernyataan menyetujui program nasional.

7.     Pengacauan Surakarta (19 Agustus 1948)
Pada malam hari 19 Agustus 1948, ketika sedang berlangsungnya pasar malam Sriwedari dalam rangkaian peringatan Kemerdekaan RI. PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan untuk mengalihkan perhatian TNI agar gerakan pemberontakan PKI di madiun bisa berjalan lancar.

8.     Pemberontakan PKI Di Madiun (18 September 1948)
Pada tanggal 18 September 1948, PKI mengadakan pemberontakan di Madiun. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia oleh Muso (Seorang tokoh Partai Komunis Indonesia) dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu yaitu Air Sjarifoedin. Banyak sekali tokoh-tokoh militer terbunuh, pejabat pemerintahan dan tokoh masyarakat. Peristiwa itu dinamakan peristiwa Madiun hingga orde lama.

9.     Pembunuhan Di Kawedanan Ngawen, Blora (20 September 1948)
Pada tanggal 20 September 1948, Markas Kepolisian Distrik Ngawen Blora diserang oleh pasukan PKI. Sebanyak dua puluh empat anggota polisi ditahan oleh PKI dan tujuh orang yang masih muda dipisahkan. Kemudian datang perintah dari komandan pasukan PKI Blora agar mereka dihukum mati.
Pada tanggal 20 september 1948, tujuh orang anggota polisi dibawa kesuatu  tempat terbuka dekat kakus dibelakang kawedanan. Secara bergantian para tawanan itu ditelanjangi lalu dibunuh dengan dua batang bambu yang dipegangi ujungnya oleh dua orang yang dijepit ke lehernya. Ketika tawanan mengerang kesakitan pasukan PKI bersorak gembira. Kemudian mereka dibuang ke kakus dan ditembaki.

10.   Pembebasan Gorang-Gareng (28 September 1948)
Pada tanggal 28 September 1948, Batalyon Sambas berhasil membebaskan gorang-gareng dan menyelamatkan tawanan yang belum sempat dibunuh. Di tempat tersebut di temukan puluhan orang yang dibunuh PKI. Gorang-gareng merupakan kota kecil sebelah utara Madiun. Di tempat ini terdapat pabrik gula Rojosari  yang menjadi markas pasukan PKI.

11.   Penghancuran PKI Di Sooko (28 September 1948)
Batalyon Maladi Yusuf (PKI), pasukan pimpinan Soebardi dan pasukan pimpinan Panjang Djokopriyono membuat kubu pertahanan di desa sooko di kaki gunung wilis ponorogo. Pada tanggal 28 september 1948, Kompi Sumadi dari Batalyon Sunandar dan Kompi Sabirin  Muchtar dari Batalyon Mujayon melakukan serbuan terhadap kubu pertahanan pasukan PKI dari dua arah. Pasukan TNI berhasil menghancurkan PKI dan sisanya melarikan diri.

12.   Pembantaian Di Dungus (1 Oktober 1948)
Setelah Madiun tidak mungkin diperthankan, pada 30 September 1948 tokoh-tokoh PKI pasukannya berikut para tawanannya mengundurkan diri ke Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kawedanan Dungus. Daerah ini yang semula disiapkan sebagai basis pengunduran dan pertahanan PKI, telah diserang oleh TNI. Dalam keadaan terdesakpun PKI membantai hampir semua tawananya dengan cara ditembak atau dipenggal lehernya. Diantara para korban terdapat perwira TNI dan polisi, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat.

13.   Muso Tertembak mati (31 Oktober 1948)
TNI berhasil menguasai beberapa daerah pertahanan PKI, sehingga PKI dan pasukannya melarikan diri dan berusaha menguasai ponorogo. Setelah gagal menguasai ponorogo. Pimpinan PKI terpecah menjadi beberapa rombongan. Muso yang menyamar bersama pengawalnya tiba didesa Semanding kecamatan Sumoroto, ponorogo. Ditempat ini pasukan TNI memerintahkan supaya ia menyerah. Muso menolak dan melawan sehingga terjadi tembak menembak. Dalam peristiwa ini, ia tertembak mati.

14.   Pembunuhan masal ditirtomoyo (4 Oktober 1948)
Didaerah Wonogiri PKI juga menculik lawan-lawan politiknya seperti pejabat pamong praja, polisi dan wedana. Para tawanan yang berjumlah 212 orang ditahan dan disekap didalam ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di tirtomoyo. Mulai tanggal 4 Oktober 1948, secara bertahap para tawanan dibunuh dengan berbagai cara.

15.   Penangkapan Amir Syarifudin (29 November 1948
Dalam upaya menyelamatkan diri dari serangan TNI, pimpinan PKI Amir Syarifudin tiba didaerah Purwodadi. Ia dan rombongan bersembunyi di Gua Macan, Gunung Pegat, Kecematan Klambu. Pada tanggal 29 November 1948, tempat bersembunyiannya dikepung oleh TNI dan akhirnya Amir Syarifudin beserta beberapa tokoh PKI lainnya menyerah.

16.   Serangan Gerombolan PKI di Markas Polisi di Tanjung Priok (6 Agustus 1951)
Sesudah pengakuan kedaulatan, sisa-sisa kekuatan bersenjata PKI membentuk gerombolan bersenjata dibeberapa daerah untuk meneror rakyat. Pada tangga 6 Agustus 1951 pukul 19.00, gerombolan eteh berkekuatan puluhan orang bersenjata tajam dan senjata api serta memakai ikat kepala bersimpul burung merpati dan palu arit menyerang asrama mobile brigade polisi di tanjung priok dengan tujuan merebut senjata. Peristiwa ini diawali ketika seorng anggota gerombolan masuk dengan alasan menjenguk rekannya, namun mereka tiba-tiba menyerang anggota polisi dipos jaga asrama. Dalam serangan ini gerombolan berhasil merampas 1 senjata bren, 7 karaben, dan 2 pistol.

17.   Peristiwa Tanjung Morawa (16 Maret 1953)
Pada tahun 1953, pemerintah Ri kepresidenan sumatera timur merencakan untuk mencetak sawah percontohan bekas perkebunan tembakau didesa perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi rencana itu ditentang oleh penggarap liar yang sudah menempati areal tersebut. Pada tanggal 16 Maret 1953, pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Ketika itulah masa tani yang didalangi oleh barisan tani indonesia (BTI), Ormas PKI, melakukan tindakan brutal.

18.   Lahirnya MKTBP (14 Maret 1954)
Dibawah pimpinan tokoh-tokoh muda seperti D.N. Aidit sejak tahun 1950 PKI bangkit kembali dan berusaha menanamkan pengaruhnya diberbagai kalangan. Untuk mencapai kekuasaan politik, PKI menyusun metode perjuangan yang diberi nama metode kombinasi Tiga bentuk Perjuangan (MKTBP). Metode ini dirumuskan dalam kongres Nasional V PKI pada tanggal 14 maret 1954 yang diantara lain berisi: perjuangan  gerilya didesa, perjuangan revolusioner kaum buruh dikota. Bekerja intensif dikalangan ABRI.MKTBP merupakan metode perjuangan yang tertutup. Kegiatan dilingkungan ABRI dilaksanakan oleh Biro Khusus PKI.

19.   D.N. Aidit  (25 Februari 1995)
D.N. Aidit telah mengeluarkan Statement Polit Biro CC PKI yang berjudul  “Peringati Peristiwa Madiun Secara Intern” pada tanggal 13 September 1953.Dalam statement tersebut PKI secara langsung terang-terangan dan sengaja menghina Pemerintah RI dengan menyatakan bahwa pemberontakan PKI tahun 1948 bukan dilakukan oleh PKI tetapi akibat provokasi  Pemerintah Hatta.Untuk mempertanggung jawabkan statement tersebut, Sekertaris Jendral Polit Biro CC PKI D.N.Aidit dihadapkan ke Pengadilan Negeri Jakarta. Sidang dimulai tanggal 25 November 11954 dan berakhir tanggal 25 Februari 1955 dengan keputusan D.N.Aidit bersalah.

20.   Kampanye Budaya PKI (25 Maret 1963)
Tidak hanya di bidang politik yang ingin dikuasai oleh PKI tetapi juga bidang lain seperti sastra dan budaya. Salah satu  usaha yang dilaksanakan  oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bersama semua lembaga yang ada dibawahnya adalah memasukan komunisme kedalam seni dan sastra, mempolitikan budayawan dan mendeskreditkan lawan. Pada tanggal 22-25 Maret 1963 diselenggarakan Konferensi Nasional II Lembaga Sastra Indonesia di Medan. Konferensi tersebut tidak hanya membahas masalah budaya dan satra yang harus bernafaskan komunisme, tetapi juga membahas masalah politik yakni menuntut agar segera dibentuk Kabinet Gotong Royong yang memungkinkan tokoh-tokoh PKI di dalamnya.

21.   Rongrongan PKI Terhadap Abri (1964-1965)
Kampanye anti ABRI, khususnya TNI AD berlatar belakang pada kecemburuan PKI karena ABRI berhasil membendung pengaruh PKI di kalangan rakyat. Berbagai macam cara kampanye anti ABRRI telah dilakukan PKI seperti  tuduhan, isu, provokasi, fitnah politik dan lainya. Sejak tahun 1964, PKI dengan “Ofensif Revolusionerya” secara gencar menyerang ABRI seperti tuntutan pembubaran aparat territorial dan puncaknya isu “Dewan Jendral” 1965. Tujuan kampanye yang sudah dilakukan sejak perang kemerdekaan (1964-1965) tersebut untuk mendiskreditkan ABRI dengan memecah belah kekompakan ABRI, memandulkan peranan sosial politik ABRI dan menghapus jati diri ABRI sebagai pejuang prajurit dan prajurit pejuang.

22.   Peristiwa Kanigoro (13 Januari 1965)
Peristiwa ini terjadi di Kecamatan Kras, Kediri, tanggal 13 Januari 1965, dimana para peserta Mental Training Pelajar Islam Indonesia Jawa Timur diserang oleh massa Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Massa komunis ini tidak hanya  menyiksa para peserta pelatihan dan menginjak-injak kitab suci AL-Qur’an tetapi juga menangkap beberapa peserta pelatihan dan tokoh agama setempat. Berkat campur tangan Camat Kras, para korban penangkapan dibebaskan hari itu juga, tetapi pelaksanaan mental training terpaksa dibatalkan.

23.   Peristiwa Bandar Betsi (14 Mei 1965)
Untuk menggagalkan rencana pemerintah di bidang landreform, PKI dan organisasi massanya melancarkan aksi sepihak yakni menguasai secara tidak sah tanah negara di beberapa tempat. Salah satu diantaranya di Perusahaan Perkebunan Negara ( PPN) Karet IX Bandar Betsi, Pematang Siantar, Pada tanggal 14 Mei 1965, kurang lebih 200 angggota Barisan Tani Indonesia  (BTI), Pemuda Rakyat (PR), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menanami secara liar tanah perkebunan karet tersebut. Pada Sudjono yang dikaryakan di perkebunan itu sedang bertugas mengeluarkan traktor yang terperosok, memperingatkan massa agar menghentikan penanaman liar itu. Akan tetapi peringatan itu tidak dihiraukan dan bahkan Pelda Sudjono dikeroyok dan dianiaya, sehingga tewas saat itu juga.

24.   Pawai Ofensif Revolusioner PKI Di Jakarta (23 Mei 1965)
Setelah merasa dirinya kuat, PKI mulai melancarkan ofensif revolusioner yang bertujuan untuk menggalang dan mempengaruhi massa agar berpihak kepadanya. Bentuk unjuk kekuatan itu ialah aksi-aksi kekerasan, aksi terror, tuntutan pembentukan Kabinet Nasakom, Angkatan Kelima, dan lain sebagainya. Salah satu unjuk kekuatan itu ialah penyelenggaraan rapat raksasa di Stadion Utama Senayan tanggal 23 Mei 1965 dalam rangka peringatan ulang tahun ke-45 PKI. Rapat dihadiri delegasi dari negara-negara komunis. Pada saat itu Ketua CC PKI D.N.Aidit mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan “Ofensif Revolusioner sampai puncaknya”.

25.   Penyerbuan Gubernuran Jawa Timur (27 September 1965)
Salah satu usaha mendiskreditkan aparatur pemerintah telah dilakukan PKI terhadap Gubernur Jawa Timur. Dengan dalih akan menyampaikan resolusi tuntutan  penurunan harga 9 bahan pokok, Gerwani yang mengatasnamakan “Gabungan Organisasi Wanita Surabaya” yang dipimpin istri Walikota meminta kesediaan Gubernur menerima delegasi pada tanggal 27 September 1965  pukul 10.00. Namun yang datang bukanlah delegasi ibu-ibu melainkan massa PKI, seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Di Gubernuran mereka merusak berbagai peralatan kantor dan berusaha menangkap Gubernur. Keadaan dapat dikuasai setelah didatangkan bantuan dari ABRI.

26.   Penguasaan Kembali Gedung PRI Pusat (1 Oktober 1965)
Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, PKI melancarkan pembrontakan Gerakan Tiga Puluh September (G.30.S/PKI). Selain menculik dan membunuh pejabat teras TNI AD, G.30.S/PKI menguasai pula Gedung Pusat Telekomunikasi dan Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat. Melalui RRI mereka mengumumkan telah menyelamatkan negara dari kudeta “Dewan Jenderal”, pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran kabinet. Untuk menghentikan pengumuman-pengumuman yang menyesatkan itu, Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih pimpinan sementara Angkatan Darat dan memerintahkan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk membebaskan kedua gedung vital tersebut. Operasi tersebut berhasil menguasai kembali Gedung Pusat Telekomunikasi dan RRI Pusat.

27.   Peristiwa Keuntungan Yogyakarta (21 Oktober 1965)
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, G.30.S/PKI berhasil menguasai RRI, Markas Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiyono serta membawanya ke daerah Kentungan. Kedua perwira tersebut dipukul dengan kunci mortir dan tubuhnya dimasukkan kedalam sebuah lubang yang sudah disiapkan. Setelah dilakukan pencarian secara intensif, kedua jenazah akhirnya ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak.

28.   Rapat Umum Front Pancasila (9 November 1965)
Akibat pembrontakan G.30.S/PKI menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat. Berbagai golongan masyarakat yang tergabung dalam Komando Aksi Penggayangan Kontra Revolusi (G.30.S/PKI) mengadakan Rapat Raksasa di Lapagan Banteng Jakarta pada tanggal 23 Oktober 1965. Front Pancasila mengajukan sebuah resolusi yang menuntut pembubaran PKI dan semua ormasnya serta mengadili tokoh-tokoh PKI.

29.   Penangkapan D.N. Aidit (22 November 1965)
Setelah G.30.S/PKI mengalami kegagalan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam, Ketua CC PKI D.N Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI. Tempat persembunyian Aidit berpindah-pindah dan terakhir di sebuah rumah di kampung Sambeng Gede, Surakarta. Berkat operasi intelijen, tempat persembunyian D.N Aidit dapat diketahui ABRI. Ia langsung ditangkap dan dibawa ke Loji Gandrung Surakarta pada tanggal 22 November 1965.

30.   Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) (14 Februari 1966)
Untuk menumpas G30 S/PKI, pemerintah melancarkan operasi miiter dan operasi yustisi. Sebagai operasi yustisi, pemerintah mengaktifkankembali lembaga mahkamah militer luar biasa (Mahmillub). Sidang pertama Mahmillub berlangsung tanggal 14 februari 1966 di jakarta terhadap Nyono bin sastro rejo., anggota polit biro CC PKI. Ia dijatuhi hukuman mati karena terbukti sebagai perencana dan penggerak G 30 S/PKI.

31.   Rakyat Jakarta Menyambut Pembubaran PKI (12 Maret 1966)
Berdasarkan surat perintah 11 Maret 1966, pada tanggal 12 Maret 1966 Letjen TNI Soeharto atas nama presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/ Panglima Besar Revolusi mengeluarkan keputusan tentang pembubaran PKI sebagai organisasi massanya serta pernyataan PKI sebagai sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Republik RRI pada pukul 06.00 WIB tanggal 12 Maret 1966. Keputusan ini disambut hangat oleh seluruh rakyat Indonesia. Massa rakyat jakarta menyambutnya dengan membawa poster-poster sebagai ungkapan rasa gembira dan terima kasih.

32.   Operasi Trisula Di Blitar Selatan (20 Juli 1968)
Setelah PKI dibubarkan, sisa-sisa PKI berusaha membangun kembalipartai dengan cara membentuk basis-basis gerilya yang disebut Comite Proyek (Compro). melalui Compro blitar selatan, PI membentuk Central Comite (CC) dan Comite Daerah besar (COB) Jawa Timur.sebagai persiapan gerilya, mereke menyusun kekuatan bersenjata, membangun kubu pertahanan, melakukan agitasi serta propaganda. Dengan diketahuinya kegiatan mereka, Kodam VIII/Brawijaya segera membentuk komando satuan tugas Trisula yang bertugas melaksanakan operasi militer untuk menumpas gerakan tersebut. Dalam saah satu operasi tanggal 20 JULI 1968 berhasil menangkap sejumlah anggota PKI.

33.   Penumpasan Gerakan PKI Ilegal Iramani Di Purwodadi (27 Januari 1973)
Samsudin alias Iramani, seorang kader PKI, sejak tahun 1968 membina sejumlah mantan tahanan G 30 S/PKI dan membentuk Comite Pangkalan Mobil (CPM) dan prajurit gerilya (Praga) di daerah Purwodadi. Gerakan yang dipimpin oleh Iramani bernama “Gerakan Pembangunan Kembali PKI” berhasil membina 7000 orang.Berkat operasi intelijen dan operasi teritorial ABRI berhasil menangkap 29 orang anggota gerombolan Iramani dan menumpas gerakan itu.

34.   Tertembaknya Matinya S.A. Sofyan (12 Januari 1974)
Dibawah pimpinan S.A. Sofyan, sisa-sisa PKI kalimantan barat mendirikan PKI gaya baru S.A. Sofyan yang didukung oleh pasukan gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan pasukan rakyat Kalimantaan Utara (Paraku). Untuk menghancurkannya, sejak Februari 1969 dilancarkan Operasi bersih III dan berhasil menghancurkan kekuatan pendukung PKI gaya baru. Pada tanggal 12 Januari 1974. Pasukan RPKAD berhasil menemukan tempat persembunyia S.A. Sofyan danketika disergap, ia tertembak mati.


Selain itu terdapat pula ruangan yang berisi baju-baju yang masih tersisa bercak darah dan terdapat juga foto-foto semasa hidupnya dan saat jenazah mereka ditemukan.
Letnan Jendral Ahmad Yani
Mayor Jendral R. Soeprapto
Brigadir Jendral Soetojo Siswomihardjo

Mayor Jendral S. Parman

Lettu Czi Pierre Andreas Tendean

1 komentar:

  1. Bangunan sktar Monumen Pancasila Sakti peninggalan kolonial Belanda tp kondisinya msh bagus

    BalasHapus